viva hidayah. Sidang sengketa kewenangan lembaga negara, antara Presiden RI
(pemohon), terhadap DPR RI (termohon 1) dan BPK RI (termohon ll),
kembali digelar. Pada sidang ke-8 yang digelar Selasa petang lalu,
agendanya adalah mendengarkan keterangan ahli atau saksi dari Termohon l
dan Termohon ll.
Sidang di MK diajukan oleh Pemohon yang berpendapat, DPR dan BPK
telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon. Pemohon berdalih,
pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) pada 2010
oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk dan atas nama Pemerintah
RI, dilakukan dalam keadaan normal dan bukan dalam rangka penyelamatan
perekonomian nasional, sehingga tidak perlu persetujuan DPR dan tidak
tunduk pada ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2003.
Berdasarkan permintaan DPR melalui surat tertanggal 21 Juni 2011
perihal Penyampaian Permintaan Komisi XI tentang Audit BPK dengan Tujuan
Tertentu Selama 1 (satu) Bulan, BPK telah melakukan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu atas proses pembelian 7% saham PT NNT tahun 2010 oleh
PIP untuk dan atas nama pemerintah RI. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal
7 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004.
Sedangkan pelaksanaan pemeriksaan BPK dilakukan berdasarkan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 4 UU Nomor 15
Tahun 2004, Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2004, Pasal 16 ayat (3) UU Nomor
15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2006. Hasil
pelaksanaan pemeriksaan tersebut, BPK memberikan pendapat: “pembelian
7% saham divestasi PT NNT (perusahaan tertutup) tahun 2010, merupakan
kegiatan pemisahan keuangan negara dari APBN ke swasta yang harus
mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.”
Saksi ahli, DR. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH menyatakan, Presiden
sulit untuk mendapatkan pembenaran, bahwa akibat pengawasan pengelolaan
keuangan negara oleh BPK yang notabene adalah lembaga negara dan
kewenangannya langsung diberikan oleh konstitusi (pasal 23 E UUD 1945),
mengakibatkan Presiden memiliki kedudukan konstitusional untuk merasa
terganggu dengan dalil bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara
adalah “kewenangannya langsung diberikan oleh konstitusi”.
Berdasarkan pendapat para ahli dari Termohon II (Prof. Dr. Frans
Limahelu, SH, Prof. Dr. Muchsan, SH, Drs. Siswo Sujanto, DEA, Prof. Dr.
Otto Cornelis Kaligis, Dr. Revisond Baswir, Dr. Ni’matul Huda, Prof. Dr.
Bagir Manan, SH, dan DR. Andi Irmanputra Sidin, SH, MH) termohon
menyimpulkan, pembelian 7 persen saham PT NNT oleh PIP tidak dapat
digolongkan lain kecuali sebagai investasi langsung atau penyertaan
modal, sehingga harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR
sebelum dilaksanakan.
Disimpulkan pula oleh termohon, pemeriksaan BPK terhadap proses
pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 oleh Pusat Investasi
Pemerintah atas permintaan DPR, merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang
BPK sebagai bentuk dari kewajiban konstitusinalnya, sehingga tidak ada
unsur melampaui wewenang, maupun sebagai tindakan sewenang-wenang atau
penyalahgunaan wewenang.
No comments:
Post a Comment