Publik dikejutkan kasus geng motor,
kasus 'koboi palmerah', hingga terakhir penodongan oleh sembilan orang
anggota Kepolisian yang mabuk di Manado, Sulawesi Utara.
viva hidayah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri harus segera memiliki pendekatan yang menyeluruh demi mengatasi meningkatnya pelanggaran hukum oleh oknum prajurit TNI, yang ironisnya juga diikuti oleh aparat Kepolisian RI.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, menyatakan pihaknya sangat prihatin dan terguncang bila melihat munculnya banyak kasus pelanggaran hukum serta arogansi aparat TNI dan Polri.
Terakhir, publik dikejutkan kasus geng motor, kasus 'koboi palmerah', hingga terakhir penodongan oleh sembilan orang anggota Kepolisian yang mabuk di Manado, Sulawesi Utara.
Menurut Tubagus, salah satu penyebab utama maraknya kasus-kasus itu adalah kurangnya pendidikan disiplin dan hukum di lingkungan aparat. Ini artinya, lanjut dia, ada kebutuhan mendesak agar hal itu ditingkatkan secara serius oleh lembaga TNI dan Polri.
"Para komandan satuan harus benar-benar mampu mengendalikan bawahannya dan memberi contoh yang baik. Selain itu prosedur penggunaan senjata dan aturan di lingkungan masing-masing harus benar-benar diterapkan," kata Tubagus, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat (4/5).
Tubagus menambahkan harus dipikirkan mekanisme agar para perwira kedua lembaga itu bertanggung jawab atas setiap kelakuan anak buahnya .
Pada kesempatan itu, Tubagus juga menanggapi pernyataan sejumlah pihak yang menilai penyebab utama peningkatan pelanggaran hukum oleh oknum TNI adalah karena masih diterapkannya UU Peradilan Militer lama. UU itu dianggap tak mampu memberikan sanksi berat kepada prajurit yang melanggar aturan hukum.
Namun bagi Tubagus, perspektif demikian tidaklah sepenuhnya benar. Bagi militer, sanksi yang diterima seperti diatur dalam UU itu justru lebih berat daripada sanksi untuk tindakan sejenis pada UU sipil.
Pasalnya, kata dia, UU Peradilan Militer saat ini menggunakan dua pendekatan yakni disiplin dan norma hukum. Akibatnya, ketika seorang oknum prajurit melanggar aturan, dia bukan hanya mendapat sanksi disiplin, namun juga sanksi untuk tindak pidananya.
Sebagai bukti, kata Tubagus, walaupun Polri sudah menggunakan peradilan umum, tapi jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya tetap saja terjadi.
"Saya sih setuju peradilan umum harus diberlakukan untuk siapapun yang melanggar aturan pidana umum, termasuk anggota TNI. Tapi alasannya adalah karena itu memang tuntutan reformasi, bukan karena adanya pelanggaran hukum perorangan atau soal sanksi," tutur purnawirawan TNI bintang dua itu.
Sebelumnya, usulan agar revisi UU Peradilan Militer diajukan oleh Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddik, dan sejumlah LSM. Alasannya, UU yang sekarang tak bisa memberi efek jera kepada prajurit TNI yang melanggar aturan hukum. Selain itu, proses hukum di bawah UU yang ada saat ini cenderung kurang transparan.
viva hidayah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri harus segera memiliki pendekatan yang menyeluruh demi mengatasi meningkatnya pelanggaran hukum oleh oknum prajurit TNI, yang ironisnya juga diikuti oleh aparat Kepolisian RI.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, menyatakan pihaknya sangat prihatin dan terguncang bila melihat munculnya banyak kasus pelanggaran hukum serta arogansi aparat TNI dan Polri.
Terakhir, publik dikejutkan kasus geng motor, kasus 'koboi palmerah', hingga terakhir penodongan oleh sembilan orang anggota Kepolisian yang mabuk di Manado, Sulawesi Utara.
Menurut Tubagus, salah satu penyebab utama maraknya kasus-kasus itu adalah kurangnya pendidikan disiplin dan hukum di lingkungan aparat. Ini artinya, lanjut dia, ada kebutuhan mendesak agar hal itu ditingkatkan secara serius oleh lembaga TNI dan Polri.
"Para komandan satuan harus benar-benar mampu mengendalikan bawahannya dan memberi contoh yang baik. Selain itu prosedur penggunaan senjata dan aturan di lingkungan masing-masing harus benar-benar diterapkan," kata Tubagus, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat (4/5).
Tubagus menambahkan harus dipikirkan mekanisme agar para perwira kedua lembaga itu bertanggung jawab atas setiap kelakuan anak buahnya .
Pada kesempatan itu, Tubagus juga menanggapi pernyataan sejumlah pihak yang menilai penyebab utama peningkatan pelanggaran hukum oleh oknum TNI adalah karena masih diterapkannya UU Peradilan Militer lama. UU itu dianggap tak mampu memberikan sanksi berat kepada prajurit yang melanggar aturan hukum.
Namun bagi Tubagus, perspektif demikian tidaklah sepenuhnya benar. Bagi militer, sanksi yang diterima seperti diatur dalam UU itu justru lebih berat daripada sanksi untuk tindakan sejenis pada UU sipil.
Pasalnya, kata dia, UU Peradilan Militer saat ini menggunakan dua pendekatan yakni disiplin dan norma hukum. Akibatnya, ketika seorang oknum prajurit melanggar aturan, dia bukan hanya mendapat sanksi disiplin, namun juga sanksi untuk tindak pidananya.
Sebagai bukti, kata Tubagus, walaupun Polri sudah menggunakan peradilan umum, tapi jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya tetap saja terjadi.
"Saya sih setuju peradilan umum harus diberlakukan untuk siapapun yang melanggar aturan pidana umum, termasuk anggota TNI. Tapi alasannya adalah karena itu memang tuntutan reformasi, bukan karena adanya pelanggaran hukum perorangan atau soal sanksi," tutur purnawirawan TNI bintang dua itu.
Sebelumnya, usulan agar revisi UU Peradilan Militer diajukan oleh Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddik, dan sejumlah LSM. Alasannya, UU yang sekarang tak bisa memberi efek jera kepada prajurit TNI yang melanggar aturan hukum. Selain itu, proses hukum di bawah UU yang ada saat ini cenderung kurang transparan.
No comments:
Post a Comment